Syok Hemoragik : Apa yang Harus Dilakukan
Shock itu intinya kondisi ketika aliran darah ke jaringan tubuh nggak cukup buat memenuhi kebutuhan oksigen. Jadi supply oksigen kalah sama demand-nya. Secara klasik, shock dibagi jadi empat tipe besar: hipovolemik, kardiogenik, obstruktif, dan distributif. Nah, yang bakal dibahas di sini lebih fokus ke shock hipovolemik, khususnya hemorrhagic shock, yaitu shock karena kehilangan darah. Kondisi ini bisa bikin sistem kardiovaskular kolaps kalau nggak cepat ditangani. Selain ngebahas konsep dasar, pembahasan ini juga ngulik patofisiologi, cara diagnosis, tatalaksana, dan pentingnya kerja tim antarprofesi buat ningkatin outcome pasien.
Tujuan pembahasan ini sebenernya simpel: biar paham apa itu shock, gimana cara ngenalin dan ngevaluasi hemorrhagic shock, apa aja opsi terapinya, dan gimana kolaborasi tim medis bisa bikin penanganan pasien jadi lebih optimal.
Pendahuluan
Shock terjadi saat tubuh nggak sanggup nyediain oksigen yang cukup ke jaringan. Pada shock hipovolemik, masalah utamanya adalah volume intravaskular yang turun drastis, entah karena dehidrasi berat atau karena perdarahan. Kalau volumenya turun terlalu jauh, jantung nggak bisa lagi mempertahankan perfusi yang adekuat. Hemorrhagic shock sendiri adalah bagian dari shock hipovolemik yang disebabkan langsung oleh kehilangan darah, dan ini sering banget ditemuin terutama di kasus trauma.
Etiologi
Walaupun paling sering dikaitkan sama trauma, penyebab hemorrhagic shock itu luas banget. Trauma tumpul atau tajam emang jadi penyebab nomor satu, tapi perdarahan saluran cerna atas dan bawah juga sering. Selain itu, kasus obstetri, kelainan vaskular, tindakan medis (iatrogenik), sampai masalah urologi juga bisa jadi sumber perdarahan. Darah yang hilang bisa kelihatan keluar atau malah “ngumpet” di dalam tubuh, kayak di dada, perut, atau retroperitoneum. Bahkan satu paha aja bisa nampung sampai 1–2 liter darah. Makanya, nemuin dan ngontrol sumber perdarahan itu krusial banget dalam penanganan hemorrhagic shock.
Epidemiologi
Trauma masih jadi salah satu penyebab kematian terbesar di dunia, dan hampir setengahnya berkaitan langsung sama perdarahan. Di Amerika Serikat, trauma pernah jadi penyebab kematian ketiga secara keseluruhan dan nomor satu pada usia 1–44 tahun. Yang paling sering kena justru kelompok usia muda, terutama umur 20–24 tahun. Di rumah sakit trauma, mayoritas kasus transfusi masif itu dipakai buat pasien trauma, bahkan bisa sampai lebih dari 75% dari total penggunaan produk darah.
Seiring bertambahnya usia, cadangan fisiologis tubuh makin turun. Lansia juga lebih sering pakai obat antikoagulan dan punya komorbid banyak, jadi mereka jauh lebih rentan buat jatuh ke kondisi dekompensasi saat mengalami hemorrhagic shock.
Patofisiologi
Hemorrhagic shock terjadi karena darah di dalam pembuluh berkurang sampai titik di mana suplai oksigen ke jaringan nggak lagi mencukupi. Akibatnya, sel-sel tubuh—terutama mitokondria—nggak bisa lagi pakai metabolisme aerob dan terpaksa pindah ke jalur anaerob yang jauh lebih boros dan nggak efisien. Proses ini bikin asam laktat numpuk dan muncullah asidosis metabolik.
Sebagai respons awal, tubuh coba kompensasi dengan ningkatin denyut jantung dan kontraktilitas. Sistem saraf simpatis aktif, pembuluh darah perifer menyempit, dan darah dialihin ke organ vital kayak otak dan jantung. Awalnya tekanan diastolik bisa sedikit naik dan pulse pressure menyempit. Tapi lama-lama, karena preload makin turun, curah jantung jatuh dan tekanan darah sistolik ikut anjlok.
Masalahnya, pengalihan darah ini bikin jaringan non-vital makin kekurangan oksigen. Produksi asam laktat makin parah, asidosis memberat, dan kalau nggak dikoreksi bakal berujung pada kegagalan vasokonstriksi, instabilitas hemodinamik berat, sampai kematian.
Respons kompensasi ini juga beda-beda tiap pasien. Umur, penyakit jantung-paru, dan obat-obatan vasoaktif bisa bikin denyut jantung dan tekanan darah jadi nggak “sesuai teori”. Makanya, tanda vital doang nggak cukup buat jadi pegangan diagnosis.
Satu faktor penting lain adalah trauma-induced coagulopathy. Gangguan pembekuan ini nggak cuma karena darah hilang dan pengenceran akibat cairan resusitasi, tapi juga karena efek asidosis dan hipotermia terhadap sistem koagulasi. Bahkan, penelitian nunjukin sebagian pasien udah mengalami koagulopati sejak awal sebelum resusitasi dimulai. Kondisi ini makin parah kalau pasien asidosis dan suhunya turun di bawah 34°C, dan ini terbukti jadi faktor risiko kematian independen.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Ngenalin seberapa banyak darah yang hilang itu penting banget, dan biasanya dilihat dari tanda vital dan status mental. ATLS ngelompokkan hemorrhagic shock berdasarkan persentase kehilangan darah pada pasien sehat dengan berat 70 kg (total volume darah kira-kira 5 liter).
Secara garis besar:
-
Kehilangan darah ringan biasanya cuma bikin denyut jantung sedikit naik tanpa perubahan tekanan darah.
-
Kehilangan sedang mulai bikin takikardia, takipnea, dan pulse pressure menyempit.
-
Kehilangan berat menyebabkan hipotensi, perubahan kesadaran, penurunan urin, dan refill kapiler melambat.
-
Kehilangan sangat berat bikin hipotensi parah, takikardia ekstrem, anuria, dan gangguan kesadaran berat.
Semua ini harus dilihat konteksnya. Lansia yang pakai beta-blocker bisa aja nggak takikardia walaupun perdarahannya berat. Pasien hipertensi kronik juga bisa “fungsional hipotensi” meski tekanan sistoliknya masih 110 mmHg.
Evaluasi
Langkah paling penting adalah recognition dini, idealnya sebelum pasien jatuh ke hipotensi. Tanda awal yang sering muncul itu takikardia, takipnea, pulse pressure menyempit, ekstremitas dingin, dan refill kapiler lambat.
Di kasus trauma, pendekatan ATLS lewat primary dan secondary survey jadi standar. Pemeriksaan fisik dan radiologi dipakai buat cari sumber perdarahan. FAST ultrasound sekarang udah jadi bagian penting karena spesifisitasnya tinggi, walaupun hasil negatif nggak sepenuhnya menyingkirkan perdarahan intraabdomen.
Tatalaksana
Sekarang, penanganan hemorrhagic shock udah nggak cuma soal “transfusi masif”, tapi pakai konsep damage control resuscitation. Fokusnya ada tiga: permissive hypotension, hemostatic resuscitation, dan kontrol perdarahan, buat ngelawan lethal triad: asidosis, hipotermia, dan koagulopati.
Permissive hypotension ditujukan buat pasien tanpa cedera kepala, dengan target sistolik sekitar 90 mmHg. Tujuannya biar perfusi tetap jalan tapi nggak sampai memicu perdarahan ulang. Pendekatan ini harus disesuaikan sama jenis trauma, kemungkinan cedera intrakranial, dan seberapa cepat pasien bisa dapet tindakan definitif.
Soal cairan, kristaloid kayak NaCl 0,9% dan Ringer Laktat masih sering dipakai, tapi masing-masing ada efek samping metabolik. Tren terbaru lebih menekankan penggunaan produk darah lebih awal buat mencegah pengenceran faktor koagulasi dan gangguan metabolik. Rasio transfusi yang seimbang (misalnya 1:1:1 plasma, trombosit, dan PRC) terbukti ngurangin kematian akibat eksanguinasi dini dan ningkatin hemostasis.
Selain itu, antifibrinolitik kayak asam traneksamat juga punya peran penting. Studi besar nunjukin obat ini bisa nurunin mortalitas kalau dikasih dalam beberapa jam pertama setelah trauma.
Semua resusitasi ini harus jalan bareng sama tindakan cepat buat ngontrol sumber perdarahan, entah lewat operasi atau intervensi lain.
Diagnosis Banding
Walaupun perdarahan paling sering jadi penyebab shock pada pasien trauma, penyebab lain tetep harus dipikirin. Obstructive shock bisa muncul karena tension pneumothorax atau tamponade jantung. Neurogenic shock bisa terjadi pada cedera kepala atau leher, ditandai hipotensi dengan denyut jantung yang nggak naik. Cardiac contusion atau infark bisa berujung ke cardiogenic shock. Di pasien shock tanpa sebab jelas, septic dan toxic shock juga wajib masuk pertimbangan.
Pearls
Trauma adalah penyebab utama hemorrhagic shock, tapi sumber perdarahan bisa dari mana aja. Takikardia biasanya jadi tanda awal, diikuti ekstremitas dingin dan refill kapiler lambat. Lethal triad—asidosis, hipotermia, dan koagulopati—harus selalu diwaspadai. Koagulopati bisa muncul bahkan sebelum resusitasi dimulai. Damage control resuscitation berdiri di atas tiga pilar: permissive hypotension, hemostatic resuscitation, dan damage control surgery.
Kolaborasi Tim Kesehatan
Karena shock punya mortalitas tinggi, penanganannya nggak bisa sendirian. Pendekatan terbaik adalah lewat tim interprofesional, yang melibatkan dokter IGD, ahli bedah trauma, perawat ICU, internis, dan intensivist. Outcome pasien sangat dipengaruhi oleh penyebab shock, usia, komorbid, dan respons terhadap terapi. Dengan pemahaman patofisiologi yang makin baik dan koordinasi tim yang solid, peluang pasien buat selamat jelas jadi lebih besar.
Referensi :
Hooper N, Armstrong TJ. Hemorrhagic Shock. [Updated 2022 Sep 26]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470382/
Tidak ada komentar untuk "Syok Hemoragik : Apa yang Harus Dilakukan"
Posting Komentar