PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis (PGK) tuh ngefek ke jutaan orang di seluruh dunia. PGK jadi masalah gede buat kesehatan masyarakat karena bikin morbiditas dan mortalitas meningkat. Orang yang udah kena PGK stadium akhir sering banget butuh transplantasi ginjal.
Prevalensi PGK diperkirain nyampe 11% dari populasi di Amerika Serikat. Orang dengan PGK punya risiko lebih tinggi kena penyakit kardiovaskular dan PGK juga bisa berkembang jadi gagal ginjal stadium akhir. Gagal ginjal stadium akhir bikin mereka butuh dialisis atau transplantasi ginjal.
Diabetes jadi faktor risiko paling penting buat PGK. Risiko PGK gara-gara diabetes terus meningkat di seluruh dunia.
Yayasan Ginjal Nasional dan Asosiasi Jantung Amerika baru-baru ini ngeluarin pedoman buat ngatur risiko kardiovaskular pada orang dengan penyakit ginjal, dan mereka tegas bilang kalau orang-orang ini punya risiko kardiovaskular yang sangat tinggi.
Buat pasien diabetes yang juga punya PGK, risiko penyakit kardiovaskular makin tinggi, jadi mereka masuk ke kelompok risiko tertinggi buat penyakit kardiovaskular. Orang diabetes yang punya mikroalbuminuria punya risiko penyakit kardiovaskular lebih tinggi (2x) dibandingin sama yang normoalbuminuria. Proteinuria dan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ngefek secara sinergis buat ningkatin risiko kardiovaskular. Kebanyakan pasien diabetes dengan CKD stadium 3 bakal ngalamin kejadian kardiovaskular yang serius, mungkin sampe fatal sebelum PGK mereka berkembang jadi gagal ginjal stadium akhir.
Pasien diabetes butuh penanganan yang rumit buat masalah metabolik mereka dan penyakit penyerta yang terkait. Mereka harus ngatur hipertensi, dislipidemia, penyakit tulang, anemia, dan penyakit kardiovaskular (PKV) yang sering muncul intensif. Jadi, pemilihan obat antidiabetik yang tepat buat pasien diabetes dan PGK jadi hal yang penting dalam praktik klinis sehari-hari.
PENGOBATAN DIABETES: TUJUAN YANG BERBEDA DAN OBAT YANG BERBEDA
Pedoman terbaru buat penanganan diabetes (ADA, EASD 2012) nyaranin personalisasi sasaran glikemik. Buat kebanyakan pasien diabetes, sasaran yang tepat adalah hemoglobin A1c (HbA1c) < 7%, tapi buat pasien dengan komorbiditas berat, sasaran antara 7% dan 8% bisa diterima. Orang diabetes dengan CKD biasanya masuk ke kelompok ini.
HbA1c terglikasi jadi penanda biologis yang paling populer dan diterima buat penilaian kontrol glikemik jangka panjang. Ini juga berlaku buat pasien dengan diabetes dan PGK. Tapi, metode ini punya keterbatasan yang signifikan pada pasien tersebut. Pengukuran dipengaruhi sama fungsi ginjal dan komplikasi PGK seperti hemolisis, kekurangan zat besi, dan asidosis metabolik.
Buat kebanyakan kasus, penderita diabetes dengan PGK harus lebih ngandelin pemantauan glukosa darah sendiri dengan alat pengukur glukosa biasa. Pasien dengan diabetes dan CKD biasanya udah punya penyakit kardiovaskular. Mereka juga berisiko lebih tinggi ngalamin hipoglikemia. Dari fisiologi, kita tahu kalau fungsi ginjal normal menghasilkan 30% neoglikogenesis, yang penting buat ngindarin hipoglikemia, terutama pada periode puasa yang lama.
Banyak penderita diabetes dengan uremia juga punya masalah nutrisi dan kadang cachexia. Penggunaan insulin serta sulfonilurea atau glinida (sekretagog kerja pendek) bikin tingkat hipoglikemia naik pada kelompok pasien ini.
Di sisi lain, banyak obat punya metabolisme ginjal dan metabolitnya biasanya aktif sehingga memperpanjang waktu kerjanya. Penggunaan obat antidiabetik, terutama golongan baru, masih menimbulkan konflik. Masalah utamanya adalah bahwa dalam banyak studi efikasi, pasien dengan CKD dikecualikan sehingga data keamanan dan efikasi buat pasien ini nggak ada. Hal ini bikin takut buat pake karena kurangnya bukti.
Meskipun begitu, data farmakokinetik dan farmakodinamik buat banyak obat baru bantu kita buat ngerti potensi risiko dan manfaat buat subjek ini. Walaupun data dasar ini meyakinkan, poin klinis tetep penting: Kita nggak bisa pake obat baru cuma berdasarkan bukti ini! Kita butuh hasil dari studi khasiat dan kemudian persetujuan dari FDA dan EMEA.
Akhirnya, penggunaan obat antidiabetik lebih rumit pada pasien ini karena banyak penderita penyakit ginjal yang berusia lanjut, dan punya penyakit yang berlangsung lama serta komorbiditas yang signifikan. Mereka ini minum banyak obat dan punya risiko interaksi obat yang tinggi.
ESTIMASI FUNGSI GINJAL PADA PASIEN DIABETES
Buat semua penderita diabetes, kita harus memperkirakan fungsi ginjal mereka. Langkah pertama: Serum kreatinin/tahunan (atau setiap 3-4 bulan pada pasien tertentu); Langkah kedua: Berdasarkan serum kreatinin, kita memperkirakan GFR (eGFR). eGFR biasanya didasarkan pada karakteristik pasien (seperti usia, jenis kelamin, dan ras) serta kadar kreatinin serum. Metode penilaian ginjal yang paling populer:
MDRD: GFR = 175 × SerumCr -1,154 × usia -0,203 [× 1,212 (kalau pasien berkulit hitam) × 0,742 (kalau perempuan)]
Fungsi yang paling akurat adalah persamaan Modifikasi Pola Makan pada Penyakit Ginjal (MDRD). Persamaan ini didasarkan pada data Studi MDRD. Persamaan ini (MDRD) sangat akurat pada GFR < 60 mL/menit.
Buat GFR yang lebih tinggi, persamaan lain juga bisa digunakan: metode Kolaborasi Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronis (CKD-EPI) berdasarkan data CKD-EPI.
CKD-EPI: GFR = 141 × min (Scr/κ, 1) α × maks (Scr/κ, 1) - 1,209 × 0,993 Usia × 1,018 (kalau perempuan) × 1,159 (kalau berkulit hitam)
Di mana Scr adalah kreatinin serum (mg/dL), κ adalah 0,7 buat wanita dan 0,9 buat pria, α adalah -0,329 buat wanita dan -0,411 buat pria, min menunjukkan minimum Scr/κ atau 1, dan max menunjukkan maksimum Scr/κ atau 1.
Biasanya kita pake kalkulator yang gampang dipake buat memperkirakan GFR. Banyak program juga tersedia gratis buat telepon pintar.
Rumus klasik Cockcroft-Gault nggak dipake lagi karena melebih-lebihkan GFR. (Berat badan dalam rumus harus berupa berat badan tanpa lemak dan bukan berat badan total).
METFORMIN
Metformin diterima secara global sebagai pilihan pertama dalam hampir semua algoritma terapi buat penderita diabetes. Keunggulan metformin adalah risiko hipoglikemia yang rendah, penurunan berat badan yang sedang, efektivitas, dan biaya yang rendah. Data UKPDS nunjukin kalau pengobatan berdasarkan metformin ngasih hasil mortalitas total dan kardiovaskular yang lebih rendah.
Metformin sering dikombinasikan dengan glimepiride.
Banyak ahli diabetes dan praktisi takut pake metformin pada pasien dengan masalah ginjal meskipun mereka cuma punya albuminuria. Ada banyak kebingungan tentang pembatasan penggunaan metformin pada pasien dengan CKD.
Metformin diserap secara perlahan saat diberikan secara oral. Ketersediaan hayati obat ini rendah (50%-60%).
Metformin nyampe konsentrasi plasma maksimum satu hingga tiga jam setelah konsumsi, kalau dikonsumsi dalam bentuk pelepasan segera atau dalam 4-8 jam dengan bentuk pelepasan diperpanjang. Metformin nggak terikat dengan albumin atau protein lain dalam plasma. Hal ini bikin volume distribusi yang tinggi hingga 1000 bahkan setelah dosis pertama.
Pada pasien dengan CKD sedang dan berat, Cmax meningkat masing-masing 173% dan 390% dibandingkan dengan pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pH normal metformin tetap sebagai kation hidrofilik. Kurang dari 0,01% obat terionisasi dalam darah. Kelarutan lipid metformin rendah. Jadi, metformin nggak bisa berdifusi melalui membran sel. Fenformin, anggota lain dari kelas obat antidiabetik biguanida, yang nggak lagi ada di pasaran, lebih lipofilik daripada metformin karena rantai sampingnya beda. Metformin nggak dimetabolisme di hati. Metformin secara aktif diekskresikan melalui saluran kemih dan ditemukan nggak berubah dalam urin. Setelah 24 jam, kalau fungsi ginjal normal, metformin nggak terdeteksi dalam darah setelah pemberian dosis tunggal. Waktu paruh metformin dalam plasma sekitar 6 jam.
Penyerapan metformin di usus diperantarai oleh transporter yang dikenal sebagai transporter monoamina membran plasma. Beberapa transporter metformin terlibat dalam penyerapannya di usus serta penyerapannya di hati dan ekskresinya di ginjal. Transporter ini adalah Transporter Kation Organik (OCT) atau protein ekstrusi multiobat dan toksin (MATE).
Ginjal juga secara aktif ngeluarin metformin. Metformin masuk ke sel-s
el ginjal dari tubulus ginjal dari sirkulasi. Prosedur ini terjadi pada membran basolateral sel dan dimediasi oleh OCT2.
Kemudian, metformin diekskresikan ke dalam lumen. Ekskresi ini difasilitasi oleh MATE (1 dan 2-K). Protein ekstrusi ini terletak di membran apikal sel tubulus proksimal ginjal.
Metformin juga diserap kembali dalam tubulus ginjal dan tindakan ini dimediasi oleh OCT1, yang juga terletak di tubulus proksimal dan distal.
Mekanisme molekuler yang mendasari aksi metformin kelihatan rumit. Metformin masuk ke dalam sel hati dan memfasilitasi fosforilasi dan aktivasi AMP-activated protein kinase (AMPK). Aktivasi kinase kunci ini (sensor status energi) menyebabkan banyak efek yang terkait dengan metabolisme glukosa dan lipid. Metformin nginhibisi neoglikogenesis hati juga secara langsung. Metformin nginhibisi kompleks I dari rantai pernapasan mitokondria. Inhibisi ini bikin rasio AMP:ATP meningkat, yang ngaktifin AMPK. Inhibisi ini juga bikin metabolisme anaerobik glukosa meningkat dalam sitoplasma dan produksi asam laktat. Jadi, metformin terkait dengan peningkatan risiko asidosis laktat ketika eliminasi asam laktat ginjal menurun (penyakit ginjal, GFR berkurang) atau fungsi hati rusak parah (asam laktat digunakan dalam hepatosit untuk menghasilkan glukosa-neoglikogenesis-). Risiko asidosis laktat juga meningkat pada pasien dengan hipoksia jaringan (syok, gagal jantung berat, sepsis, hipotensi terkait pembedahan, dll.).
Risiko asidosis laktat lebih besar dengan fenformin karena merupakan penghambat respirasi mitokondria yang lebih kuat. Fenformin punya metabolisme hati dengan metabolit yang nggak aktif. Enzim CYP2D6 memetabolisme fenformin jadi metabolit yang nggak aktif. Sebagian kecil pasien (sekitar 2,8%) punya polimorfisme enzim yang bikin mereka jadi pemetabolisme yang buruk. Pada pasien ini, risiko asam laktat bahkan lebih besar (karena kadar fenformin yang lebih tinggi).
Meskipun begitu, analisis data dari banyak uji coba (347 uji coba perbandingan dan studi kohort) dari tinjauan sistematis Basis Data Cochrane pada tahun 2010, nggak nunjukin kasus asidosis laktat pada 70.490 pasien-tahun yang pake metformin.
Analisis statistik dari data ini nunjukin kalau batas atas kejadian asidosis laktat per 100.000 pasien-tahun adalah 4,3 kasus (lebih rendah dari 5,4 kasus pada kelompok non-metformin).
Dalam analisis ini juga, kadar asam laktat kelihatan nggak beda pada kedua kelompok.
Namun, dalam kebanyakan penelitian, asidosis laktat bukanlah titik akhir yang ditentukan sebelumnya dan nggak ada data tentang kadar asam laktat.
Di tabel Bahasa Indonesia:Tabel 11 kita rangkumin rekomendasi terkini tentang penggunaan metformin pada CKD.
Tabel 1
Penggunaan metformin pada penyakit ginjal kronis:
eGFR (mL/menit per 1,73 m 2)
Penggunaan metformin
> 60 (CKD 1 dan 2)
Nggak ada kontraindikasi
Pemeriksaan fungsi ginjal setiap tahun
45-60 (CKD 3a)
Penggunaan metformin-kurangi dosis (tidak lebih dari 1,5-2 g setiap hari)
Pemeriksaan fungsi ginjal secara berkala (setiap 3-6 bulan)
30-45 (CKD 3b)
Kurangi dosis (tidak lebih dari 1-1,5 g setiap hari)
Nggak ada kasus baru
Pemeriksaan fungsi ginjal secara berkala (setiap 3-6 bulan)
< 30 (CKD 4 dan 5)
Hentikan metformin
Semua penderita diabetes yang berisiko mengalami gagal ginjal akut harus menghentikan penggunaan metformin setidaknya untuk sementara. Situasi klinis yang terkait dengan peningkatan gagal ginjal akut meliputi insufisiensi hati dan penggunaan agen radiokontras serta obat antimikroba. Penggantian cairan serta dukungan curah jantung berguna dalam kondisi klinis tertentu. Pemantauan keluaran urin dan kreatinin serum kurang sensitif dan spesifik pada gagal ginjal akut, keduanya tetap jadi parameter yang paling banyak digunakan dalam praktik klinis.
Akhirnya, ketika kita ngubah dosis obat yang mempengaruhi tekanan darah dan kemungkinan perfusi ginjal, kita harus memantau fungsi ginjal secara ketat dan ngurangin dosis metformin (penggunaan diuretik atau peningkatan dosisnya, permulaan penggunaan ACEI dan ARB, gagal jantung tidak stabil dengan sering dirawat di rumah sakit, dll.).
PIOGLITAZON
Pioglitazon cuma dimetabolisme di hati dan nggak menyebabkan hipoglikemia. Jadi secara teori, bisa dikasih ke semua stadium CKD tanpa penyesuaian dosis. Tapi, pioglitazon bisa bikin retensi cairan, anemia, dan osteoporosis, yang bisa memperparah kondisi anemia dan masalah tulang pada pasien diabetes dan CKD. Biasanya, pioglitazon dibatasi pemakaiannya pada pasien ini dengan dosis yang dikurangi (biasanya 15 mg sekali sehari).
SULFONILUREA
Sulfonilurea adalah obat lama yang banyak digunakan untuk meningkatkan sekresi insulin, tapi risiko hipoglikemia-nya tinggi, terutama untuk pasien CKD.
- Glibenklamid: Dimetabolisme di hati dan diekskresikan oleh ginjal dan usus. Beberapa metabolitnya aktif dan bisa terakumulasi di CKD, bisa menyebabkan hipoglikemia yang serius. Penggunaan pada CKD sedang (eGFR 60-90 mL/menit) harus dibatasi dan dikontraindikasikan pada CKD stadium ≥ 3 (eGFR < 60 mL/menit).
- Glimepirida: Dimetabolisme oleh hati jadi dua metabolit utama yang aktif. Penggunaan aman pada GFR > 60 mL/menit dan dengan dosis yang dikurangi hingga 30 mL/menit. Berbahaya pada CKD stadium 4 atau 5.
- Gliklazid: Dimetabolisme di hati jadi metabolit yang nggak aktif. Bisa menyebabkan hipoglikemia lebih sedikit daripada sulfonilurea lain. Bisa digunakan pada CKD sage 1, 2, 3 (eGFR > 30 mL/menit). Nggak ada data pada CKD berat, tapi bisa digunakan dengan dosis yang dikurangi.
- Glipizida: Nggak memerlukan penyesuaian dosis pada penyakit ginjal berat dan sedang, tapi tetap harus hati-hati dengan risiko hipoglikemia.
GLINIDA
Glinida (repaglinida dan nateglinida) adalah sekretagog kerja pendek dengan risiko hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan sulfonilurea, yang merupakan keuntungan untuk penderita diabetes dengan CKD.
- Repaglinida: Dimetabolisme di hati dan ekskresikan melalui empedu ke dalam feses. Bisa digunakan pada CKD stadium 4 dan 5 tanpa pengurangan dosis.
- Nateglinida: Dimetabolisme di hati dengan metabolit yang aktivitas hipoglikemiknya lemah. Pada CKD stadium 5 dihindari, dan pada stadium 4 dosisnya disesuaikan (60 mg × 3).
GLIPTINES (INHIBITOR DIPEPTIDYL PEPTIDASE 4)
Inhibitor DPP-4 (gliptin) adalah kelas baru obat antidiabetik dengan profil keamanan yang baik. Gliptin menghambat enzim DPP-4, yang mendegradasi hormon incretin. Hormon ini merangsang sekresi insulin yang bergantung glukosa dan menekan produksi glukagon.
- Sitagliptin: Tidak mengalami metabolisme yang ekstensif, sebagian besar diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Penyesuaian dosis berdasarkan CKD.
- Vildagliptin: Diserap cepat, sebagian besar diekskresikan dalam urin. Penyesuaian dosis diperlukan pada CKD stadium ≥ 3.
- Saxagliptin: Dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin dan tinja. Penyesuaian dosis diperlukan pada CKD stadium ≥ 3.
- Alogliptin: Praktis tidak dimetabolisme dan diekskresikan dalam bentuk tidak berubah melalui urin. Penyesuaian dosis berdasarkan CKD.
- Linagliptin: Praktis tidak dimetabolisme dan diekskresikan dalam bentuk tidak berubah. Tidak memerlukan penyesuaian dosis pada semua stadium CKD.
GLP-1 RA (AGONIS RESEPTOR)
GLP-1 RA adalah obat yang disuntikkan dan efektif tanpa risiko hipoglikemia, tapi harus hati-hati karena efek samping gastrointestinal bisa memperparah CKD.
- Exenatide: Diekskresikan oleh ginjal, tidak diizinkan pada CKD stadium 4 dan 5.
- Liraglutide: Terdegradasi sepenuhnya di dalam tubuh, tidak diekskresikan melalui urin dan feses. Bisa digunakan pada semua stadium CKD.
INSULIN
Ginjal melakukan sepertiga degradasi insulin eksogen. Pada CKD, dosis insulin eksogen dikurangi 25% ketika eGFR 10-50 mL/menit dan 50% ketika eGFR <10 mL/menit.
KESIMPULAN
Risiko hipoglikemia yang lebih tinggi pada pasien diabetes dengan CKD membuat pemilihan obat yang tepat penting, seperti metformin (dosis rendah) dan inhibitor DPP-4. Jika pengobatan insulin diperlukan, penyesuaian dosis harus dilakukan terutama pada CKD stadium 4 dan 5. Target glikemia yang kurang ketat sering kali diterapkan pada pasien diabetes dengan CKD.
Referensi :
Ioannidis I. (2014). Diabetes treatment in patients with renal disease: Is the landscape clear enough?. World journal of diabetes, 5(5), 651–658. https://doi.org/10.4239/wjd.v5.i5.651
Tidak ada komentar untuk "Pengobatan DM Tipe 2 pada pasien CKD"
Posting Komentar