Gagal Jantung : Klasifikasi, Patofisiologi, Tatalaksana
Gagal jantung (heart failure) bukan berarti jantung “berhenti bekerja”, melainkan jantung mengalami kelemahan dalam memompa darah secara efektif ke seluruh tubuh. Kondisi ini bisa disebabkan oleh berbagai gangguan jantung seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup jantung, hingga gangguan irama jantung.
Mengingat beban penyakitnya yang tinggi dan gejalanya yang bisa sangat mengganggu kualitas hidup, penting banget untuk mengenali gagal jantung dari berbagai sisi: mulai dari klasifikasi, patofisiologi, hingga tatalaksananya. baca juga : klasifikasi NYHA
Klasifikasi Gagal Jantung
Gagal jantung bisa diklasifikasikan dari berbagai sudut pandang. Berikut adalah klasifikasi yang umum digunakan:
1. Berdasarkan Lokasi Gangguan
-
Gagal jantung kiri (Left-sided heart failure)
Gagal jantung yang terjadi akibat gangguan pada ventrikel kiri. Gejala utamanya berupa dispnea (sesak napas), ortopnea, PND (paroxysmal nocturnal dyspnea), dan edema paru. -
Gagal jantung kanan (Right-sided heart failure)
Gangguan pada ventrikel kanan yang menyebabkan darah menumpuk di sistem vena. Gejalanya seperti bengkak kaki, hepatomegali, ascites, dan distensi vena jugularis. -
Gagal jantung global (Congestive heart failure)
Kombinasi antara gagal jantung kiri dan kanan.
2. Berdasarkan Fraksi Ejeksi (EF = Ejection Fraction)
-
HFrEF (Heart Failure with Reduced Ejection Fraction)
EF < 40% → Pompa jantung lemah. Sering disebut sebagai gagal jantung sistolik. -
HFpEF (Heart Failure with Preserved EF)
EF ≥ 50% → Jantung bisa memompa, tapi dindingnya kaku dan mengisi darah dengan buruk. Dikenal juga sebagai gagal jantung diastolik. -
HFmrEF (Heart Failure with mildly reduced EF)
EF 41–49%, semacam zona abu-abu antara HFrEF dan HFpEF.
3. Berdasarkan Kelas Fungsional NYHA (New York Heart Association)
-
Kelas I: Tidak ada batasan aktivitas fisik.
-
Kelas II: Aktivitas fisik biasa menyebabkan gejala (sesak, lelah).
-
Kelas III: Aktivitas ringan saja sudah menimbulkan gejala.
-
Kelas IV: Gejala bahkan saat istirahat.
Patofisiologi Gagal Jantung
Patofisiologi gagal jantung cukup kompleks. Tapi kita coba sederhanakan prosesnya:
1. Kondisi Awal
Misalnya, seseorang mengalami infark miokard (serangan jantung). Otot jantung rusak → kekuatan pompa berkurang → output jantung turun.
2. Respons Kompensasi Tubuh
Agar suplai darah tetap cukup, tubuh bereaksi:
-
Aktivasi sistem saraf simpatis
Norepinefrin dilepaskan → denyut jantung meningkat → vasokonstriksi. -
Aktivasi RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron System)
Volume darah meningkat, retensi natrium dan air → memperberat beban jantung. -
Hipertrofi jantung
Otot jantung menebal atau membesar untuk menyesuaikan beban kerja → awalnya membantu, tapi lama-lama malah bikin jantung makin rusak.
3. Maladaptasi
Respon yang tadinya bantu, malah jadi masalah:
-
Kontraksi jantung makin menurun
-
Tekanan pengisian meningkat → edema paru dan perifer
-
Kerusakan miokard progresif → remodeling ventrikel
Gejala Gagal Jantung
Gejala bisa berbeda tergantung jenis gagal jantung, tapi umumnya mencakup:
-
Sesak napas (saat aktivitas, tidur, atau bahkan istirahat)
-
Mudah lelah
-
Batuk kronis, terutama saat berbaring
-
Bengkak di kaki, pergelangan, atau perut
-
Berat badan naik cepat karena retensi cairan
-
Nokturia (sering buang air kecil malam hari)
-
Palpitasi atau detak jantung cepat/berdebar
Diagnosis Gagal Jantung
Pemeriksaan Penunjang yang Umum Dilakukan:
-
EKG: Bisa menunjukkan tanda iskemia, hipertrofi, atau gangguan irama.
-
Ekokardiografi: Pemeriksaan paling penting → menilai fraksi ejeksi, fungsi sistolik dan diastolik.
-
Foto toraks: Bisa menunjukkan pembesaran jantung dan edema paru.
-
Biomarker:
-
BNP / NT-proBNP: Meningkat pada gagal jantung.
-
-
Tes laboratorium lain: Fungsi ginjal, elektrolit, fungsi hati.
Tatalaksana Gagal Jantung
Penatalaksanaan gagal jantung terdiri dari modifikasi gaya hidup, farmakoterapi, intervensi, dan monitoring jangka panjang.
1. Modifikasi Gaya Hidup
-
Pembatasan garam (diet rendah natrium)
-
Batasi cairan (terutama bila ada hiponatremia atau edema berat)
-
Olahraga ringan teratur
-
Berhenti merokok dan alkohol
-
Pantau berat badan tiap hari
2. Farmakoterapi
Untuk HFrEF (EF < 40%):
-
ACE Inhibitor atau ARB
Contoh: captopril, enalapril, losartan -
ARNI (sacubitril/valsartan)
Lebih baru, bisa menggantikan ACEI/ARB -
Beta-blocker
Contoh: bisoprolol, carvedilol, metoprolol -
Mineralocorticoid receptor antagonists (MRA)
Contoh: spironolakton -
SGLT2 Inhibitor
Contoh: dapagliflozin, empagliflozin → Efektif bahkan pada non-diabetesi -
Loop diuretik
Furosemid, torasemid → untuk mengontrol edema -
Digoksin → jika masih gejala berat atau ada fibrilasi atrium
Untuk HFpEF dan HFmrEF:
-
Fokus pada kontrol komorbiditas: hipertensi, diabetes, obesitas, penyakit ginjal.
-
Gunakan diuretik untuk kontrol gejala kongesti.
-
SGLT2 inhibitor juga berguna di kelompok ini.
3. Terapi Non-Farmakologis & Intervensi
-
CRT (Cardiac Resynchronization Therapy): Untuk pasien dengan HFrEF dan gangguan konduksi (misalnya LBBB)
-
ICD (Implantable Cardioverter-Defibrillator): Pencegah sudden cardiac death pada HFrEF berat
-
Transplantasi jantung atau LVAD (Left Ventricular Assist Device) → untuk kasus yang sangat berat
-
Rehabilitasi jantung: Program latihan fisik terstruktur
Komplikasi Gagal Jantung
-
Aritmia (AF, VT/VF)
-
Stroke (karena AF dan stasis darah)
-
Tromboemboli
-
Gagal ginjal
-
Hiponatremia akibat retensi air
-
Kematian mendadak
Prognosis
Prognosis gagal jantung sangat bergantung pada penyebab, fraksi ejeksi, komorbiditas, dan respons terhadap pengobatan. HFrEF biasanya punya mortalitas lebih tinggi, tapi bisa membaik jika ditangani dengan optimal. HFpEF cenderung punya mortalitas serupa, meskipun tatalaksananya tidak sekomprehensif HFrEF.
Kesimpulan
Gagal jantung adalah kondisi kompleks yang melibatkan ketidakseimbangan antara kebutuhan jaringan dan kemampuan jantung dalam menyuplai darah. Dengan memahami klasifikasi, patofisiologi, dan tatalaksananya, kita bisa memberikan terapi yang tepat, menurunkan angka rawat inap, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penanganan gagal jantung bukan hanya soal obat, tapi juga melibatkan edukasi pasien, perubahan gaya hidup, serta intervensi medis lanjutan bila dibutuhkan. Dengan pendekatan menyeluruh dan dukungan berkelanjutan, prognosis gagal jantung bisa jauh lebih baik.